Constitution Journal https://constitution.uinkhas.ac.id/index.php/cj <div> </div> <div> <table class="data" width="100%" bgcolor="#f2f2f2"> <tbody> <tr valign="top"> <td width="30%"><strong>Journal title</strong></td> <td width="70%"> <strong><a href="https://constitution.uinkhas.ac.id/index.php/cj" target="_blank" rel="noopener">Constitution Journal</a></strong></td> </tr> <tr valign="top"> <td width="30%"><strong>Initials</strong></td> <td width="70%"><strong> constitution</strong></td> </tr> <tr valign="top"> <td width="30%"><strong>Frequency</strong></td> <td width="70%"> <strong><a href="https://constitution.uinkhas.ac.id/cj/issue/archive" target="_blank" rel="noopener">2 issues</a> per year</strong></td> </tr> <tr valign="top"> <td width="30%"><strong>Prefix DOI</strong></td> <td width="70%"> <strong>10.35719</strong> <a href="https://search.crossref.org/?q=+2962-1720&amp;from_ui=yes" target="_blank" rel="noopener"><img src="https://i.ibb.co/T4xZdG6/crossref3.png" alt="crossref3" border="0" /></a> </td> </tr> <tr valign="top"> <td width="30%"><strong>Prefix OAI</strong></td> <td width="70%"> <a href="https://constitution.uinkhas.ac.id/index.php/cj/oai?verb=ListRecords&amp;metadataPrefix=oai_dc&amp;set=cj" target="_blank" rel="noopener"><strong>https://constitution.uinkhas.ac.id/index.php/j/oai</strong></a></td> </tr> <tr valign="top"> <td width="30%"><strong>Online ISSN / Print ISSN</strong></td> <td width="70%"> <table class="table table-bordered"> <tbody> <tr> <td><strong><a href="https://issn.brin.go.id/terbit/detail/20220730470946918" target="_blank" rel="noopener">2962-1720 </a>/ <a href="https://issn.brin.go.id/terbit/detail/20230525302064828" target="_blank" rel="noopener">2987-8918</a></strong></td> </tr> </tbody> </table> </td> </tr> <tr valign="top"> <td width="30%"><strong>Editor In Chief</strong></td> <td width="70%"><a> <strong>Erfina Fuadatul Khilmi</strong></a> [<a href="https://scholar.google.com/citations?hl=id&amp;user=LZ3DfxUAAAAJ" target="_blank" rel="noopener"><img src="https://i.ibb.co/8XtFWdP/scholarl1.png" alt="scholarl1" border="0" /></a>]</td> </tr> <tr valign="top"> <td width="30%"><strong>Publisher</strong></td> <td width="70%"><strong> UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember</strong></td> </tr> <tr valign="top"> <td width="30%"><strong>Organizer</strong></td> <td width="70%"> <strong>Sharia Faculty</strong></td> </tr> </tbody> </table> </div> en-US jurnalconstitution@uinkhas.ac.id (Erfina Fuadatul Khilmi) constitutionjournal22@gmail.com (Wildan Rofikil Anwar) Sun, 30 Jun 2024 21:42:44 +0700 OJS 3.2.1.2 http://blogs.law.harvard.edu/tech/rss 60 URGENSI PEMBENTUKAN MAJELIS HAKIM AD HOC MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PERKARA JUDICIAL REVIEW https://constitution.uinkhas.ac.id/index.php/cj/article/view/90 <p>This research employs a juridical-normative legal research method with a statutory approach and a case approach to explore the procedure for establishing the Ad Hoc Panel of the Constitutional Court as a response to violations of the principle of nemo judex in causa sua. The aim of this research is to outline the procedure for establishing the Ad Hoc Panel of the Constitutional Court and its implications for maintaining the integrity of the Constitutional Court. The formation of the Ad Hoc Panel of the Constitutional Court is a relevant alternative in this context. Ad Hoc Judges, selected based on their expertise and specialized experience in constitutional law, can assist in handling complex or sensitive cases without conflicts of interest that would compromise the judicial process. These measures are expected to enhance the integrity and credibility of the Constitutional Court, enabling it to fulfill its functions as an upholder of the constitution free from external influence, and strengthen public trust in the constitutional justice system. Despite challenges in implementing this mechanism, such as the proper selection of Ad Hoc Judges and oversight mechanisms, these steps are crucial in ensuring the enforcement of the principle of nemo judex in causa sua</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan kasus (case approach) untuk mengeksplorasi prosedur pembentukan Majelis Hakim Ad Hoc Mahkamah Konstitusi sebagai respons terhadap pelanggaran asas nemo judex in causa sua. Tujuan penelitian ini adalah menguraikan prosedur pembentukan Majelis Hakim Ad Hoc Mahkamah Konstitusi serta implikasinya dalam menjaga integritas Mahkamah Konstitusi. Pembentukan Majelis Hakim Ad Hoc Mahkamah Konstitusi menjadi alternatif yang relevan dalam konteks ini. Hakim Ad Hoc, dipilih berdasarkan keahlian dan pengalaman khusus di bidang hukum konstitusi, dapat membantu menangani perkara-perkara kompleks atau sensitif tanpa adanya konflik kepentingan yang merugikan proses peradilan. Langkah-langkah ini diharapkan dapat meningkatkan integritas dan kredibilitas Mahkamah Konstitusi, menjalankan fungsi-fungsinya sebagai lembaga penegak konstitusi yang bebas dari pengaruh eksternal, serta memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan konstitusi. Meskipun masih terdapat tantangan dalam implementasi mekanisme ini, seperti pemilihan hakim Ad Hoc yang tepat dan mekanisme pengawasannya.</p> Muh Alghifari, Andi Agung Mallongi, Nuraiman Nuraiman Copyright (c) 2024 Muh Alghifari, Andi Agung Mallongi, Nuraiman Nuraiman https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0 https://constitution.uinkhas.ac.id/index.php/cj/article/view/90 Sun, 30 Jun 2024 00:00:00 +0700 MEMPERKUAT FONDASI DEMOKRASI: ANALISIS DAMPAK NEPOTISME DAN STRATEGI PENGENDALIAN DALAM MEMBANGUN DEMOKRASI IDEAL https://constitution.uinkhas.ac.id/index.php/cj/article/view/92 <p>This article aims to elucidate the phenomenon of nepotism within the context of democracy, utilizing a qualitative research approach and a descriptive-analytical methodology based on a literature review. It addresses three primary issues: firstly, the construction of an ideal democracy; secondly, the impact of nepotism on the integrity of democracy; and thirdly, practical strategies for combating nepotistic practices. The study reveals that an ideal democracy should champion the principles of popular sovereignty, transparency, accountability, and meritocracy. However, nepotism undermines these principles by allocating positions and resources based on personal relationships rather than competence, reducing the quality of public policy and creating social disparities. It erodes public trust and inhibits citizen participation in the democratic process. Nepotistic practices contribute to political and economic stagnation and disrupt the equitable distribution of social justice, with long-term impacts such as the erosion of institutional integrity. This article recommends combating nepotism by implementing stringent anti-nepotism laws, strengthening independent oversight bodies, and using information technology to enhance transparency and accountability. Public education on integrity and professionalism is also emphasized as a means to raise awareness and reduce tolerance for nepotism. Overall, the article provides deep insights into how ideal democracy can be degraded by nepotism and offers concrete strategies to reinforce the foundations of democracy, ensure social justice, and support sustainable economic growth. Collective efforts to eradicate nepotism will not only strengthen democracy but also ensure that governance is more effective and fair.</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan fenomena nepotisme dalam konteks demokrasi, dengan menggunakan studi kepustakaan berbasiskan jenis penelitian kualitatif dan sifat penelitian yang dilakukakn secara deskriptif-analitik. Artikel ini menjelaskan tiga pokok masalah yang dikemukakan, pertama, konstruksi demokrasi ideal, kedua, dampak nepotisme terhadap integritas demokrasi, dan ketiga, strategi efektif untuk memerangi praktik nepotisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa demokrasi ideal harus mengedepankan prinsip kedaulatan rakyat, transparansi, akuntabilitas, dan meritokrasi. Namun, nepotisme mengancam prinsip-prinsip ini dengan mengalokasikan posisi dan sumber daya berdasarkan hubungan pribadi, bukan kompetensi, mengurangi kualitas kebijakan publik, dan menciptakan disparitas sosial. Hal ini merusak kepercayaan publik dan menghambat partisipasi warga dalam proses demokratis. Praktik nepotisme menyebabkan stagnasi politik dan ekonomi serta mengganggu pemerataan keadilan sosial, dengan dampak jangka panjang berupa erosi integritas institusional. Artikel ini merekomendasikan untuk memerangi nepotisme dengan mengimplementasikan undang-undang anti-nepotisme yang ketat, penguatan lembaga pengawas independen, serta penggunaan teknologi informasi untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Pendidikan publik tentang integritas dan profesionalisme juga ditekankan sebagai upaya meningkatkan kesadaran dan mengurangi toleransi terhadap nepotisme. Secara keseluruhan, artikel ini memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana demokrasi yang ideal dapat terdegradasi oleh nepotisme dan menawarkan strategi konkret untuk memperkuat fondasi demokrasi, memastikan keadilan sosial, dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Upaya kolektif dalam memberantas nepotisme tidak hanya akan memperkuat demokrasi tetapi juga memastikan bahwa pemerintahan berjalan lebeih efektif dan adil.</p> Arif Sugitanata, Siti Aminah, Muhammad Hasyied Abdurrasyied Copyright (c) 2024 Arif Sugitanata, Siti Aminah, Muhammad Hasyied Abdurrasyied https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0 https://constitution.uinkhas.ac.id/index.php/cj/article/view/92 Sun, 30 Jun 2024 00:00:00 +0700 BATAS KEKUASAAN PRESIDEN DALAM KONSTITUSI INDONESIA https://constitution.uinkhas.ac.id/index.php/cj/article/view/101 <p>The presidential system of government adopted by Indonesia ideally provides broad powers for the president to carry out his executive duties. These broad powers can only be limited by other powers for constitutional reasons. This article intends to explore two major concepts in constitutional law, namely prerogative rights and the principle of separation of powers as constitutional limits on the president's executive power. The analytical tools used include historical approaches, constitutional theory and practices applicable in other countries, namely the United States, New Zealand and Canada. The results of the analysis show that prerogative rights are different from the president's executive rights. Prerogative rights provide broad space for the president to use his powers to fill spaces that have not been regulated in the constitution while carrying out his executive duties. The limitation of prerogative rights is that their use is limited to emergencies until the legislative body can regulate it in legislation. Meanwhile, the principle of separation of powers postulates two interpretations, namely formalist and functionalist. The formalist view is based on the unitary power doctrine which prohibits all forms of intervention by other branches of power on executive power, while the functionalist approach assumes that limits on executive power are possible as long as they do not have a fundamental impact on the president's ability to exercise his executive power.</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Sistem pemerintahan presidensial yang dianut oleh Indonesia idealnya memberikan kekuasaan yang luas bagi presiden untuk melaksakan tugas eksekutifnya. Kekuasaan yang luas tersebut hanya dapat dibatasi oleh kekuasaan lain dengan alasan konstitusional. Tulisan ini bermaksud untuk mendalami dua konsep besar dalam hukum tata negara yaitu hak prerogatif dan prinsip <em>separation of powers </em>sebagai batasan konstitusional kekuasaan eksekutif presiden. Alat analisis yang digunakan antara lain adalah pendekatan sejarah, teori konstitusi dan praktek yang berlaku dinegara lain yaitu Amerika Serikat, New Zealand dan Canada. Hasil analisis menunjukkan bahwa hak prerogatif berbeda dengan hak eksekutif presiden. Hak prerogatif memberikan ruang yang luas kepada presiden untuk menggunakan kekuasaannya untuk mengisi ruang yang belum diatur dalam konstitusi sepanjang untuk menjalankan tugas eksekutifnya. Batasan hak prerogatif adalah penggunaannya yang dibatasi pada keadaan darurat sampai dengan lembaga legislatif dapat mengaturnya dalam perundangundangan. Sedangkan prinsip <em>separation of powers </em>mendalilkan dua penafsiran yaitu formalis dan fungsionalis. Pandangan formalis mendasarkan dirinya pada <em>unitary power doctrine </em>yang melarang segala bentuk intervensi cabang kekuasaan lain terhadap kekuasaan eksekutif, sedangkan pendekatan fungsionalis beranggapan bahwa batasan kekuasaan eksekutif dimungkinkan selama tidak berdampak secara mendasar kepada presiden untuk menjalankan kekuasaan eksekutifnya.</p> Mohammad Haris Taufiqur Rahman Copyright (c) 2024 Mohammad Haris Taufiqur Rahman https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0 https://constitution.uinkhas.ac.id/index.php/cj/article/view/101 Sun, 30 Jun 2024 00:00:00 +0700 LEGAL STANDING PERATURAN SEMA NO. 2 TAHUN 2023 DALAM POLEMIK ATURAN KAWIN BEDA AGAMA https://constitution.uinkhas.ac.id/index.php/cj/article/view/91 <p>Interfaith marriage is currently still a hot topic of discussion among legal observers and the general public. This is very logical considering that Indonesia is a country that is diverse in beliefs, languages ??and religions. The aim of this research is to find out the legal standing or position of SEMA Number 2 of 2023. This research method is normative juridical. The approach used is a statutory regulation approach, namely an approach implemented based on new and/or current legislation in force as related positive law and a concept approach is an approach implemented based on the forms and concepts that can be obtained in opinions. scholarly opinions or legal doctrines relating to related legal issues. Data collection was carried out by means of literature study. The theory used is Gustav Radbruch's legal certainty. The research results show that SEMA No. 2 of 2023, which was initially hoped to be able to overcome the polemic regarding the regulation of interfaith marriages, however, it is still a long-standing controversy surrounding interfaith marriages.</p> <p><strong>Abstak</strong></p> <p>Perkawinan beda agama pada saat ini masih menjadi perbincangan hangat oleh para pengamat hukum serta khalayak umum. Hal ini sangat logis mengingat Indonesia adalah negara yang beragam dari kepercayaan, Bahasa dan agama. Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui legal standing atau kedudukan SEMA Nomor 2 Tahun 2023. Metode penelitian ini ialah yuridis normatif. Pendekatan yang digunakan merupakan pendekatan peraturan perundang-undangan yakni pendekatan yang dilaksanakan berlandaskan pada Peraturan Perundang-Undangan baru dan atau sedang berlaku sebagai hukum positif yang terkait dan pendekatan konsep ialah pendekatan yang dilaksanakan dengan didasarkan pada bentuk-bentuk dan konsep yang dapat diperoleh dalam pendapat-pendapat sarjana atau doktrin-doktrin hukum yang berkaitan dengan persoalan hukum terkait. Pengumpulan data dilaksanakan dengan cara studi pustaka. Teori yang digunakan adalah kepastian hukum milik Gustav Radbruch. Hasil penelitian menunjukkan SEMA No. 2 Tahun 2023 yang pada awalnya diharapkan mampu mengatasi polemik peraturan kawin beda agama namun masih saja menjadi polemik kontroversi yang bekepanjanganseputar perkawinan beda agama. </p> Ali Akbar Masyayih, Moh. Wahyu Al Waris Copyright (c) 2024 Ali Akbar Masyayih, Moh. Wahyu Al Waris https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0 https://constitution.uinkhas.ac.id/index.php/cj/article/view/91 Sun, 30 Jun 2024 00:00:00 +0700 HUBUNGAN PANCASILA DENGAN TEORI POSITIVISME DALAM PERSPEKTIF KONSTITUSI https://constitution.uinkhas.ac.id/index.php/cj/article/view/99 <p>The origins of Pancasila as a basic norm (grundnorm) or staatsfundamentalnorm, as well as the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia as the highest law in the hierarchy of laws and regulations in Indonesia can be traced through the development of positivist theories. The research seeks to test the relevance of positivist theories to the premise “Pancasila is the source of all sources of law.” The research methods used are a statutory approach, a conceptual approach and a doctrinal approach. The results of the research concluded that Pancasila in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia is a basic norm, which goes beyond the status of positive law and is placed outside the circle of positive legal order/hierarchy of statutory regulations, so its validity is much higher and is “mandatory” in nature rather than anything else, so that basic norms become the validity /touchstone for all positive law in Indonesia.</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Asal mula Pancasila sebagai norma dasar (grundnorm) atau staatfundamentalnorm, serta Konstitusi UUD NRI 1945 sebagai hukum tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat ditelusuri melalui perkembangan pemikiran teori-teori positivisme. Pada penelitian ini berupaya untuk menguji relevansi teori-teori positivisme terhadap premis “Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum.” Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan doktrinal. Hasil penelitian disimpulkan bahwa Pancasila dalam Konstitusi UUD NRI 1945 adalah norma dasar, yang melampaui status hukum positif dan diletakkan di luar dari lingkaran tata hukum positif/hierarki peraturan perundang-undangan, maka daya berlakunya jauh lebih tinggi yang sifatnya “wajib” daripada apapun itu, sehingga norma dasar menjadi validitas/batu uji bagi seluruh hukum positif di Indonesia.</p> Mardika Copyright (c) 2024 Mardika Mardika https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0 https://constitution.uinkhas.ac.id/index.php/cj/article/view/99 Sun, 30 Jun 2024 00:00:00 +0700 DEKONSTRUKSI TRANSISI ENERGI MELALUI OPTIMALISASI ENERGI TERBARUKAN DENGAN AKSELERASI PAJAK KARBON https://constitution.uinkhas.ac.id/index.php/cj/article/view/97 <p>Paris Agreement became a insiator of accelerating climate change in Indonesia, Indonesia have a policy named Green Growth Program that is program to accelerate economic recovery that can reduce poverty, social inclusion, environmental sustainability, and resource efficiency. Crucial issues regarding environmental sustainability and resource efficiency are green investment to energy transition. Criticism of programs that seek to solve the problem of green investment and energy transition is a policy that has environmental, social, and economic dimensions simultaneously, one of which is the carbon tax policy. Carbon tax which has a futuristic mission to accelerate the energy transition, especially coal energy, is an important part of the existence of the Indonesia Green Growth Program, The methods used in this article are normative juridical methods as well as statutory approaches, comparative approaches, and conceptual approaches. The discussion in this article will include: First, Energy Transition is gradual and sustainable with economic instruments. Second, discussion of procedural mechanisms, legal rules, and objectives to be achieved from the energy transition. The last is the correlation between Energy Transformation through Carbon Tax and the realization of the Indonesia Green Growth Program Based on the presentation that has been done, the conclusion of this article is in the form of a conceptual idea that the carbon tax mechanism is a correlated policy and has quite realistic prospects in the implementation of the Indonesia Green Growth Program in the environmental sector to achieveecological justice.</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Paris Agreement menjadi sebuah insiator aksi perubahan iklim di Indonesia yang kemudian diaktualisasikan melalui Indonesia Green Growth Program Kebijakan tersebut merupakan sebuah program untuk melakukan percepatan pemulihan ekonomi yang dapat mengurangi kemiskinan, inklusi sosial, kelestarian lingkungan, serta efisiensi sumber daya. Permasalahan krusial mengenai kelestarian lingkungan dan efisiensi sumber daya adalah investasi hijau dan transisi energi. Konkritisasi terhadap program yang berusaha menyelesaikan permasalahan investasi hijau dan transisi energi adalah sebuah kebijakan yang berdimensi lingkungan, sosial, dan ekonomi secara bersamaan, salah satunya adalah kebijakan pajak karbon. Pajak karbon yang memiliki misi futuristik akselerasi transisi energi khususnya energi batu bara menjadi sebuah bagian penting dari keberadaan Indonesia Green Growth Program, Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah metode yuridis normatif serta pendekatan perundang-undangan, pendekatan komparasi dan pendekatan konseptual. Pembahasan dalam artikel ini akan meliputi: Pertama, Transisi Energi secara bertahap dan berkelanjutan dengan alat ukur instrument ekonomi. Kedua, pembahasan terhadap mekanisme prosedural, aturan hukum, serta tujuan yang akan dicapai dari transisi energi tersebut. Serta yang terakhir adalah korelasi antara Tranisisi Energi melalui Pajak Karbon dengan realisasi Indonesia Green Growth Program Berdasarkan pemaparan yang telah dilakukan, kesimpulan dari artikel ini berupa sebuah gagasan konseptual bahwa mekanisme pajak karbon merupakan sebuah kebijakan yang korelat serta memiliki prospek yang cukup realistis dalam implementasi Indonesia Green Growth Program dalam bidang lingkungan demi tercapai keadilan ekologis.</p> Nanda Vico, Josua Jerikho Copyright (c) 2024 Nanda Vico, Josua Jerikho https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0 https://constitution.uinkhas.ac.id/index.php/cj/article/view/97 Sun, 30 Jun 2024 00:00:00 +0700